A.
PendahuluaN
Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang semula berupa Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh yaitu, VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada masa itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu, VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Selain VOC masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa : Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Setelah Kerajaan PaJajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi, pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun. Kerajaan Islam Sumedanglarang, pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan,Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Ranggagempol Kusumahdinata.
Ranggagempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumendanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan Mataram. Maka pada Tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram.
Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati (Wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, disebelah Barat Kali Cisadane, disebelah Utara Laut Jawa, dan disebelah Selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat, dan sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, Putra Prabu Geusan Ulun.
Pada Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 Prajurit dengan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membentuk Karawang sebagai pusat logistic pangan sebagai persiapan melawan VOC di Batavia dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan mendirikan 3 (tiga) Desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (Sekarang ternlasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dengan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai angqapan bahwa tuqas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam.
Disebut Mataram Islam untuk membedakan dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah. la
adalah cucu dari Panembahan Senapati (Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda
Krapyak.
Penembahan Senapati yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti
Mataram. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di
seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya ditaklukkannya supaya kelak
tidak membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram.
Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang semula berupa Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh yaitu, VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada masa itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu, VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Selain VOC masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa : Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan
budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan
nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo.
106/TK/1975 tanggal 3 November 1975
B. Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula
dengan sebutan Raden Mas Rangsang.
Merupakan putra dari pasangan Prabu
Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.
Ayahnya adalah raja kedua Mataram,
sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah
putra Pangeran
Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu,
Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang
dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian
masyarakat Jawa yang
kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan
Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon,
melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang
menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani)
yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
C.
Gelar yang dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang
bergelar "Panembahan
Hanyakrakusuma" atau "Prabu
Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma",
atau disingkat "Sunan Agung
Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar
"Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga
Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar
bernuansa Arab.
Gelar tersebut adalah "Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari
pemimpin Ka'bah diMakkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam
artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
D. Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada
tahun 1613 dalam
usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura,
yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis
Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat
hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya
menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat
karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat
itu masih berada di Kota Gede.
Pada tahun 1614 mulai
dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota
Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim
pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang.
Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh
Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak
perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung
penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung,
Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun
masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan
Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun
1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas.
Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
E.
Menaklukkan Surabaya
Sultan
Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan
kesatuan negara yang dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Di
kraton, Prasena mendapat perlakuan baik dan dikawinkan dengan
putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I). Lewat; strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang dipertatungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.
putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I). Lewat; strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang dipertatungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.
Untuk
menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung pernah menawarkan
kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Setelah Banten hancur, barulah
VOC mendapatkan gilirannya. Tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon
Coen, Gubernur Jendral VOC pada masa itu. Gubernur Jenderal itu rupanya
mengetahui bila sesudah Kerajaan Banten dapat dihancurkan maka kongsi dagang
itu akan menjadi sasaran berikutnya. VOC tetap memelihara pertentangan antara
dua kerajaan itu dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang
pro VOC akan didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian
tanah kerajaan kepadanya.
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung
kota Surabaya secara
periodik. Sungai Mas dibendung
untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah
barat daya) tahun 1622.
Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani)
untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas
banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi
Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini
akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang
bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada
pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Beberapa
waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang
bernama Pangeran
Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram,
dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Setelah penaklukan Surabaya,
keadaan Mataram belum
juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak
tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di
berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola,
sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun
dengan biaya yang sangat mahal.
F.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung
bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen
akibat perang yang
berlarut-larut melawan Surabaya.
Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di
bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya
menjadi Batavia.
Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut,
Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan
menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan
VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar.
Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya.
Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
G. JALANNYA
PERLAWANAN
Sultan
Agung (memerintah 1613-1646), raja terbesar dari Mataram, menggantikan
ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada
tahun 1613. Dalam kenyataannya dia tidak memakai gelar sultan sampai tahun
1641; mula-mula dia bergelar pangeran atau panembahan dan sesudah tahun 1624
dia bergelar susuhunan (yang sering disingkat sunan, gelar yang juga diberikan
kepada kesembilan wali). Namun demikian, disebut Sultan Agung sepanjang masa
pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini biasanya dapat diterima
oleh para sejarawan.
Bagian
yang paling bersejarah dalam masa Mataram islam ini adalah perlawanannya
terhadap kebijakan monopoli VOC di
Batavia (Sunda Kelapa).
Sebelumnya kota ini bernama Fatahillah, kemudian berganti menjadi Jayakarta,
pada masa VOC diganti menjadi Batavia dan setelah merdeka dirubah lagi menjadi
Jakarta sampai sekarang ini.
Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90 hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.
Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-benteng VOC di Batavia.
Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di Daerah Ciamis.
Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .
Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90 hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.
Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-benteng VOC di Batavia.
Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di Daerah Ciamis.
Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .
Setelah Kerajaan PaJajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi, pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun. Kerajaan Islam Sumedanglarang, pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan,Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Ranggagempol Kusumahdinata.
Ranggagempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumendanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan Mataram. Maka pada Tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram.
Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati (Wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, disebelah Barat Kali Cisadane, disebelah Utara Laut Jawa, dan disebelah Selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat, dan sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, Putra Prabu Geusan Ulun.
Pada Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 Prajurit dengan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membentuk Karawang sebagai pusat logistic pangan sebagai persiapan melawan VOC di Batavia dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan mendirikan 3 (tiga) Desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (Sekarang ternlasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dengan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai angqapan bahwa tuqas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Demi
menjaga keselamatan Wilayah Kerajaan Mataram sebelah barat, pada tahun 1628 dan
1629, bala tentara Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan
penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun serangan ini gagal
disebabkan keadaan medan yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan
Daerah Karawang sebagai pusat logistik yang harus mempunyai pemerintahan
sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram serta harus dipimpin
oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang sehingga mampu menggerakkan
masyarakat untuk membangun pesawahan guna mendukung pengadaan logistik dalam
rencana penyerangan kembali terhadap VOC (belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".
Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.
Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".
Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.
Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.
Pada
abad XVII kerajaan terbesar di Pulau Jawa adalah Mataram, dengan raja yang
terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. la tidak menginginkan wilayah
Nusantara diduduki atau dijajah oleh bangsa lain dan ingin mempersatukan
Nusantara.
Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.
Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.
Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI, Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah lumbung padi Jawa Barat.
Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.
Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.
Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI, Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah lumbung padi Jawa Barat.
H.
Setelah kekalahan Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam
perseteruannya dengan VOC Belanda.
Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk
bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat
itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan
daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan
pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil
ditumpas pada tahun 1630.
Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak
tahun 1631. Sultan Cirebon yang
masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut
dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang
tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu
pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri,
maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan
dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung
pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri
tersebut pada tahun 1636.
I. Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari
"Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat
I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya,
terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC.
Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada
VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus
terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang
karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana
I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III
setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakartadan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu
kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa
beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram
J.
Akhir Kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah
Sultan Agung, putra Panembahan
Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga)
untuk menaklukkan Blambangan di
ujung timur Pulau Jawa.
Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan
pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa
sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan
Mataram, kecuali Bataviayang
masih diduduki militer VOC Belanda.
Sedangkan desa Banten telah
berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan
adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantantahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik
dengan Makassar,
negeri terkuat di Sulawesi saat
itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram
sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan
kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat
yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat
hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada
kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang
dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang
masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender
Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain
itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik,
berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung
menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang
harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan
di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga
mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat.
Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang
sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
K. Peristiwa Penting
®
Tahun 1558 : Ki
Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
®
Tahun 1584 : Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan
Pajang mengangkatSutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa
baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di
utara pasar).
®
Tahun 1587 : Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda
diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
®
Tahun 1588 : Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya PanglimaPerang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
®
Tahun 1601 : Panembahan
Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolangyang bergelar Panembahan
Hanyakrawati dan kemudian
dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat
berburu (jawa: krapyak).
®
Tahun 1613 : Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh
putranya Pangeran
Aryo Martoputro.
Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknyaRaden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah
Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma".
Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar
bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
®
Tahun 1645 - 1677 : Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga
kerajaanMataram,
yang dimanfaatkan oleh VOC.
®
Tahun 1677 : Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret.
Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan
Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas
ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
®
Tahun 1703 : Susuhunan
Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
®
Tahun 1704 : Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang
Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
®
Tahun 1708 : Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan
dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
®
Tahun 1719 : Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan
digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu
Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
®
Tahun 1726 : Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan
digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
®
Tahun 1742 : Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak.
Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
®
Tahun 1743 : Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura
berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah
perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama
belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan
Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
®
Tahun 1745 : Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa
Sala di tepian Bengawan Beton.
®
Tahun 1746 : Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota
baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P.
Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung
lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu
kerajaan kecil.
®
Tahun 1749 – 11 Desember : Susuhunan
Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun
secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada
®
Tahun 1830-12 Desember : Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan
Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota
sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
®
Tahun 1752 : Mangkubumi
berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah
pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
®
Tahun 1754 : Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan
perdamaian.23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau
keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
®
Tahun 1755 - 13 Februari : Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian
Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran
Mangkubumi menjadiSultan atas Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau
lebih populer dengan gelar Sri
Sultan Hamengku Buwono I.
®
Tahun 1757 : Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat
sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja
Mangkunegaranyang
terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
®
Tahun 1813 : Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma
diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten
Paku Alamanyang
terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Paku Alam".
®
Tahun 1830 : Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara
Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang
tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan
Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan
Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai
oleh Hindia Belanda.
K. Wafatnya Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah
dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai
pusat pemakaman keluarga raja-rajaKesultanan
Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan
hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya,
Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama
Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
lengkap sekali ya... perlu di amankan.
izin pakai untuk tugas ya
Sangat bermanfaat banget, terimakasih